SKANDAL POLISI CABUL! CABUL HANYA DIMUTASI?

Polisi Cabul

Kasus Kapolres, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, Polisi Cabul Hanya Berujung Mutasi! Dimana keadilan? Mari Kita Kupas Tuntas

Kasus yang melibatkan AKBP Fajar Widyadharma Lukman, mantan Kapolres Ngada, telah menjadi sorotan publik dan mencoreng citra institusi kepolisian. Fajar ditangkap oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri pada 20 Februari 2025 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, atas dugaan keterlibatannya dalam kasus narkoba dan tindakan asusila terhadap anak di bawah umur.

Kasus pencabulan yang melibatkan Kapolres Ngada nonaktif, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, semakin menunjukkan bobroknya sistem keadilan bagi korban. Bukannya ditahan, pelaku justru hanya dimutasi ke Yanma Polri, sementara korban anak-anak justru menghilang karena ketakutan.

Korban dari Polisi Cabul Hilang

Salah satu korban, anak berusia 16 tahun, dikabarkan melarikan diri karena ketakutan setelah mengetahui bahwa pelaku masih bebas. Dengan tiga korban anak—berusia 5, 13, dan 16 tahun—kenapa kasus ini masih berlarut-larut? Kenapa Polri hanya memberikan sanksi mutasi, bukan penahanan?

Reaksi dan Tindakan Kepolisian Terhadap Polisi Cabul

Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Henry Novika Chandra, membenarkan penangkapan Fajar dan menyatakan bahwa yang bersangkutan sedang menjalani pemeriksaan di Mabes Polri. Ia menegaskan bahwa tindakan tegas akan diambil jika Fajar terbukti melakukan pelanggaran atau tindak pidana.

Double Standard yang Mengerikan

Jika pelaku bukan aparat, sudah pasti penjara menantinya. Namun, karena ini adalah anggota kepolisian berpangkat tinggi, keadilan berjalan begitu lambat. Seberapa sering kita mendengar kasus pencabulan anak yang bukan dilakukan oleh polisi ditangani secepat ini? Nyatanya, kasus predator berseragam justru diperlambat dengan dalih “proses pemeriksaan”.

Mutasi = Perlindungan, Bukan Hukuman! Alih-alih langsung ditahan, Fajar hanya dipindahkan ke Yanma Polri, tempat yang sering dijadikan sebagai lokasi “karantina” bagi anggota yang bermasalah. Artinya, ia masih punya akses, bisa mempengaruhi proses hukum, bahkan mengintimidasi korban serta saksi.

Dengan statusnya yang masih bebas, bagaimana korban dan keluarganya bisa merasa aman? Jika seorang Kapolres bisa melakukan hal ini tanpa konsekuensi serius, apa jaminan bagi masyarakat bahwa hukum masih berlaku bagi semua orang?

Tuntutan Keadilan: Predator Anak Harus Dipenjara!

Masyarakat harus bersuara! Tidak boleh ada perlakuan istimewa bagi pelaku kejahatan, apalagi terhadap anak-anak. Jika keadilan masih berarti di negeri ini, maka:

Kapolres pelaku pencabulan harus segera ditahan, bukan hanya dimutasi!
Korban dan keluarganya harus mendapat perlindungan penuh, bukan justru ditelantarkan hingga harus bersembunyi!
Proses hukum harus transparan, tanpa ada intervensi dari pihak kepolisian!
Jangan Biarkan Keadilan Mati!

Kronologi Penangkapan dan Dugaan Tindak Kejahatan

Penangkapan Fajar bermula dari penyelidikan otoritas Australia terhadap video pelecehan seksual anak yang beredar di situs porno negara tersebut pada pertengahan 2024. Penyelidikan tersebut mengarah ke Kupang, NTT, sebagai lokasi pembuatan konten ilegal tersebut. Pada 20 Februari 2025, tim Propam Polri, didampingi Paminal Polda NTT, menangkap Fajar di Kupang dan membawanya ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Tuntutan Masyarakat dan Langkah Selanjutnya

Kasus ini menimbulkan kemarahan dan kekecewaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Banyak pihak mendesak agar Fajar dihukum seberat-beratnya sesuai hukum yang berlaku. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga menyatakan akan mengawal proses hukum kasus ini untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Kasus ini bukan hanya tentang satu Kapolres bejat, tapi juga tentang bagaimana sistem hukum memperlakukan korban. Jika kita diam, maka akan semakin banyak predator berseragam yang merasa kebal hukum. Masyarakat harus terus mengawasi dan menekan aparat hukum agar kasus ini diselesaikan dengan adil. Jangan biarkan keadilan mati di tangan polisi sendiri!

Kasus AKBP Fajar Widyadharma Lukman ini menjadi peringatan keras bagi institusi kepolisian untuk lebih selektif dalam menempatkan personel pada posisi strategis dan memastikan integritas anggotanya. Masyarakat berharap agar proses hukum berjalan transparan dan adil, serta memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan serupa di masa mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *