Kesaksian Korban Eksploitasi Dari OCI: Disiksa dan Disetrum!

Korban Eksploitasi Dari OCI

Korban Eksploitasi Dari OCI ungkap disiksa & disetrum sejak kecil tanpa upah. Eksploitasi manusia di balik panggung hiburan akhirnya terbongkar!

Awal Terungkap Korban Eksploitasi Dari OCI

Jakarta kembali menjadi saksi bisu dari jeritan lama yang akhirnya menemukan panggungnya. Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI), yang selama ini hidup dalam bayang-bayang eksploitasi, mendatangi Kementerian Hukum dan HAM dengan satu tujuan: menuntut keadilan atas dugaan perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mereka alami selama puluhan tahun.

Kronologi Kenapa Ada Korban Eksploitasi Dari OCI

Mereka bukan sekadar mantan pekerja hiburan. Mereka adalah korban dari sistem kejam yang diduga telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Dalam laporan yang diajukan, mereka menyebut bahwa sejak kecil mereka telah “diambil” dari keluarganya atau dijemput dari lingkungan miskin, kemudian dilatih keras menjadi pemain sirkus. Namun bukan pelatihan seperti di sekolah, melainkan penuh kekerasan, pemaksaan, bahkan penyiksaan.

“Sejak kecil saya tidak tahu apa itu sekolah, tidak tahu siapa orang tua saya. Yang saya tahu, saya harus latihan, tampil, dan kalau menolak saya akan disetrum,” ujar salah satu korban yang kini berusia 40-an, dengan mata berkaca-kaca.

Lebih mengejutkan lagi, dugaan kekerasan ini bukan hanya terjadi di belakang panggung sirkus, tapi juga disebut-sebut berlangsung di lingkungan Taman Safari Indonesia—tempat OCI kerap tampil dalam berbagai pertunjukan. Beberapa korban mengaku pernah dikurung, diisolasi, hingga dipasung jika dianggap tidak patuh atau gagal tampil.

Klarifikasi dari Pihak Taman Safari Indonesia

Pihak Taman Safari Indonesia sejauh ini membantah terlibat langsung dalam eksploitasi tersebut. Mereka menyatakan bahwa hubungan dengan OCI hanyalah sebatas penyedia tempat. Namun, publik menilai bahwa pembiaran selama puluhan tahun atas aktivitas OCI di bawah naungan mereka bukan hal yang bisa begitu saja dilepaskan dari tanggung jawab moral.

Laporan ke Komnas HAM dan berbagai lembaga sebenarnya sudah pernah dilakukan sejak 1990-an, bahkan setidaknya sejak 1997. Namun, minimnya perhatian dan lemahnya sistem perlindungan membuat kasus ini terpendam begitu lama. Baru setelah kesaksian para korban viral di media sosial, perhatian publik dan pemerintah mulai mengarah ke tragedi yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad.

Kini, langkah konkret telah diambil. Para korban resmi melaporkan dugaan pelanggaran HAM ini ke Kementerian Hukum dan HAM. Mereka didampingi oleh lembaga bantuan hukum dan aktivis hak asasi manusia yang menyatakan siap mengawal kasus ini hingga ke meja hijau.

Harapan Kedepan Agar Tidak Ada Korban Eksploitasi Dari OCI Lagi

Kisah ini bukan sekadar tentang sirkus, bukan pula hanya soal masa lalu. Ini adalah cermin buram dari praktik perbudakan modern yang terjadi di tengah keramaian, di balik tepuk tangan penonton. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dalam pelukan kasih, justru dijadikan alat hiburan dan kehilangan seluruh hak dasarnya sebagai manusia.

Masyarakat kini berharap agar ini menjadi titik balik. Bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi untuk membongkar sistem eksploitasi yang masih tersembunyi di balik nama-nama besar hiburan. Karena jika keadilan bisa datang—meski terlambat—maka luka-luka itu setidaknya bisa mulai sembuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *